Escape to SumBar: Part #1


Guys… before and after reading.. Dimohon sangat buat jempol and komennya yah…!! So,enjoy it! Tengkiu ^_*
ESCAPE TO SUMBAR
Nggak nyangka…akhirnya kami melakukannya juga!
Kami adalah…
Andy Agustian, Damro, Davis Sylvana, Herlinawaty, Lee Marpin dan Nelly.
A liitle things ’bout us >>>
Andy : Our best driver…
>> Luv this person so much..coz udh relain bokongnya pegal2 buat jadi driver..ckck…
Damro : As M.O. ato Manager Operational
>> Hm…dari segi mananya ya? Hehe…
Davis : Promotour + Teman buat seru-seruan di mana aja.. Hahaha..
>> Mending dengerin budak nie daripada polisi yang bikin mutar2 cari patung ikan tu lah…hihi..
Lee: Our navigator t’beken merangkap bendahara…
>> Nih anak juga selalu berurusan dengan tukang parkir and duit ilang… =)
Herlinawaty: As a writer
>> Kalo ada moment yang kurang…Konfirm ke aku ya… Nih masih tahap pengeditan koq… :p
Nelly : Camerawoman…
>> Nelly nie yang spnjg prjalanan RUTIN tidoer… tapi,bukan berarti ga ada cerita seru dari doi…hehe..apalagi doi yang jadi salah satu penyelamat pas uang di bendahara ilang..(thx ya Nel..)
Ribet dengan kesibukan kuliah and problem lainnya, akhirnya kami sampai pada satu keputusan: JALAN-JALAN.
Well, sebenarnya ini perjalanan ternekat pertama yang kami lakukan. Pasalnya, selain masih ada yang sibuk ngurus skripsi, ada yang lg nyari kerja, ada yang mo wisuda, keuangan juga terbatas, dan… baru 3 minggu lalu ide ini muncul begitu aja di Lab. Bioteknologi.
Awalnya cuma ide iseng aku dan Davis. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ide dadakan ini disambut baik sama teman2 lain. Jadilah rumah Andy sebagai markas kecil kami ngebahas rencana ini dan sasaran kami adalah….Sumatera Barat.
Setelah berdebat cukup lama, inilah hasilnya.



Kapan>> 4-6 November
Budget >> Dua ratus ribu
Rute >> Pekanbaru –> Bukit tinggi –> Pantai Caroline –> Pantai Air Manis –> Padang –> Lembah Anai –> Lembah Harau dan Perkemahan Bustami –> Pekanbaru
Hoe to get there >> Mobil…tapi masih belum 100% fix
Pas hari-H. Aku dan Davis, dua diantara ribuan orang yang diwisuda hari itu. Lagi sibuk2nya berfoto, Andy datang mendekat. “Kak, mobil bisa kita rental. Kakak siap2 ya jam 7. Nanti kami jemput”.
00.49 am Avanza yang kami rental memasuki perbatasan Sumatera Barat..
Nggak sampai 2 jam, Avanza melewati kelok 9, kelokan yang paling terkenal di ranah minang ini.
Davis dan Nelly yang tadinya tertidur, terbangun.
Satu…Dua…seru kami setiap kali Andy membelokkan Avanza di tiap kelokan tajam yang hampir menyerupai huruf U itu. Udah kayak anak TK aja. Apalagi Lee, yang sama sekali belum pernah ke Sumbar. Antusias bener kelihatannya. ^_^
Jam 3 subuh, kami sampai di Bukit Tinggi. Avanza sempat berputar di kota wisata itu sebentar, melewati Hotel Novotel-Kantor DPRD-Kediaman Bung Hatta-Hotel Indira-Kebun Binatang, sebelum akhirnya berhenti di parkiran seputar Jam Gadang.
Masih cukup sepi. Masih ada sisa-sisa pos ketertiban selama Ramadhan sebulan lalu.
Kalau nggak salah, kota ini terletak di ketinggian 900 mdpl. Kontras dengan kota Pekanbaru yang panas.
Andy, Lee dan Davis tiduran di dalam mobil.
Meski hampir sepanjang malam aku tetap melek,aku berusaha melawan hawa pagi yang dingin dengan melewatkan waktu di seputaran Jam Gadang bersama Nelly dan Damro.
Ada-ada saja yang kami lakukan. Kejar-kejaranlah. Senam tak karuanlah. Damro malah joget dangdut nggak jelas gitu.
Bosan berada di taman dekat Jam Gadang, kami berjalan kaki mengitari wilayah di sekitar situ, melewati Kebun binatang.
Kebun binatang >> Yang bangun Controler Strom Van Goven tahun 1990. So, jadilah dia kebun bintang tertua di Indonesia. Htm-nya 8 ribu rupiah.
Dari bilboard yang terlihat dari luar, ada tulisan: Benteng Fort de Kock.
Benteng Fort de Kock >> Tau nggak? Rupanya nama benteng ini nama kecilnya Bukit Tinggi dan diambil dari nama WaGubJenHinBel waktu itu:Baron. Kejadiannya tahun 1825, Belanda bikin benteng ini buat pertahanan waktu Imam Bonjol (Pernah dengar kan waktu belajar sejarah dulu? ;-] ) dan Harimau Nan Salaban mimpin kaum Padri ngelawan Belanda.
07.00 Waktunya sarapan di kota seribu jenjang ini. Kami memutuskan untuk sarapan di R.M. Simpang Raya.
Sambil berjalan kaki menuju rumah makan, dari jauh aku ngelihat sekelompok ibu sedang senam di depan Pasar Atas yang sudah mulai kelihatan ramai. Lagi seru-serunya ngeliatin mereka, aku baru nyadar ada yang aneh.
“Loh, bukannya itu…”
“Kenapa kak?” tanya Nelly heran
Tanpa menunggu jawabanku, Nelly ikut memperhatikan apa yang kulihat.
“Eh…” celetuknya
Andy, Damro, Davis dan Lee pun ikut-ikutan memperhatikan.
Di depan ibu-ibu yang lagi senam itu, ada 2 orang ibu yang posisinya berdekatan, sepertinya mereka instruktur senamnya. Tapi, anehnya, gerakan ibu yang satunya lagi beda dengan yang lainnya.
Uhm…kalo ga salah, orang itu kan… Petugas kebersihan yang ada dekat pos subuh tadi. Dia juga yang nguber-nguber aku dan Nelly dengan pertanyaan nggak jelas.
Tanpa dikomando, kami ketawa bareng.
“Jangan-jangan dia…” Aku nggak berani nerusin pikiranku
Selesai makan, kami langsung ke GOA JEPANG dan Menara Pandang Ngarai Sianok. Htm-nya 4 ribu rupiah/orang.
Kami ke Menara Pandang Ngarai Sianok ato Grand Canyon-nya Indonesia ini lebih dulu, melewati kios-kios yang menjual aneka suvenir.
Ngomong-ngomong, Bukit Tinggi juga disebut Tri Arga, artinya tiga gunung yang berada di sekitar Bukit Tinggi: Gunung Tandikat, Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Dua gunung yang disebutkan terakhir itu yang jadi ‘wallpaper’ ngarai curam tapi elok itu. Di dasarnya, mengalir sungai berliku sepanjang +- 15 km. Fuihh..
Menara pandangnya sendiri cuma tower sederhana bertingkat tiga. Turun dari menara pandang,oops… lagi-lagi ibu-ibu aneh yang kami liat waktu senam tadi sudah ada di sana, sibuk menyodorkan kacang ke monyet-monyet yang ramai berkeliaran di situ sambil menerangkan sesuatu yang nggak jelas, entah apa dan sama siapa.
Puas foto-foto, kami menuju Goa Jepang. Untuk masuk ke Goa Jepang yang keberadaan sebenarnya berputar-putar di bawah kota Bukit Tinggi itu, ada 131 anak tangga yang perlu dilewati. Yup! Bener, 131 anak tangga, soalnya kami betul-betul semangat buat ngitung yang bener.
Udara di dalam goa terasa lembab. Ada banyak ruangan di dalam goa. Dapur, Ruang makan, Ruang persenjataan sampe ruang penyergapan dan penyiksaan. Lampu-lampu yang dipasang nggak cukup buat mengusir suasana mistik yang cukup kerasa. Sayang, kami nggak manfaatin jasa guide lokal, jadilah kami cuma berandai-andai melewati tiap lorong yang ada.
10.00 a.m. Kami meninggal…kan Bukit Tinggi dengan icon Jam Gadangnya ini. Big Ben-nya Indonesia itu ternyata nyimpen banyak cerita.
Jam Gadang: behind the scene.
>> Dibangun oleh putra pribumi: Yazid dan Sutan Gigi Ameh
>> Bangunan setinggi 26 m itu adalah hadiah Ratu Belanda untuk Rook Maker yang waktu itu jadi sekretaris kota. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh anak sulung Rook Maker yang masih 6 tahun
>> Dulu, waktu zaman Belanda bagian puncaknya berdiri patung Ayam Jantan. Pas zaman Jepang, diganti dengan ornamen seperti Kelenteng. Setelah merdeka, baru diganti dengan rumah adat Minangkabau
>> Mesin Jam Gadang buatan bangsawan Inggris,Forman, ini dipercaya hanya ada 2 di dunia. Satunya lagi jadi mesin jam Big Ben.
>> Angka penunjuk jam berupa huruf romawi. Perhatiin nggak ada angka romawi yang ‘meleset’? Angka romawi yang tertulis ‘IIII’ bukannya ‘IV’. Ceritanya nih, deretan angka 1 romawi itu menunjukkan jumlah korban ato tumbal yang meninggal saat pembangunan jam.
“Pak, numpang tanya. Jalan ke arah Pantai Caroline, kemana ya?”
Berhubung kami nggak tau pasti arah jalan ke pantai itu, Lee yang duduk di depan nanya ke pak polisi yang kami temui di pos polisi.
“Ooo, kalian sudah lewat. Tadi di sana, kalian cari aja patung ikan. Nah, dekat situ lewat kiri aja,” kata pak Polisi menjelaskan, sambil menunjuk ke arah belakang kami.
Kami saling liat. Patung ikan? Kayaknya nggak ada satu pun patung ikan yang kami lewati tadi.
Tapi kami patuh aja dengan petunjuk polisi tadi. Andy pun membelokkan Avanza yang kami naiki.
Baru aja kami menyusuri jalan yang tadi kami lewati, tiba-tiba Davis ngomong.
“Kayaknya kita harus melewati pos polisi tadi lah. Tapi aku heranlah, kok kita malah disuruhnya balik arah?” Celetuknya sambil mengingat-ingat sesuatu.
Dia memang baru dari Pantai Caroline bulan Agustus lalu.
Benar. Setelah beberapa lama…
“Ga ada pun patung ikannya”.
“Gimana sih polisi tadi tu?”
“Jangan-jangan dia baru ditempatkan di sini”.
“Tapi kan Pantai Caroline cukup terkenal. Masa udah tinggal di sini tapi nggak tau”.
“Ya udah, kalo gitu kita tanya aja sama penduduk sini. Pasti mereka tau”.
Setelah nanya sama bapak-bapak yang nongkrong dekat warung,
“Oo..masih jauh. Pantai Caroline ke arah sana,” jelasnya sambil menunjuk ke arah belakang kami.
Lain pak polisi, lain lagi kata penduduk situ.
Lagi-lagi Andy membelokkan Avanza dan kami kembali melewati jalan yang sama. Melewati pos polisi yang sama.
Nggak berapa lama…
“Nah…kayaknya kita udah mau nyampe. Nanti dekat situ kita belok kiri.”
Dan…benar! Akhirnya setelah dibuat mutar-mutar, kami sampai juga.
01.30 p.m. Sampai di Pantai Caroline. Htm-nya Rp.14.000/mobil.
This is our main target. Pantai!
Begitu turun dari mobil, Damro langsung menggelar tikar. Nelly ngangkatin nasi bungkus dari mobil. Kelihatannya perut sudah rock n roll-an.
Lagi sibuk-sibuknya mengangkati barang, datang seorang bapak paruh baya. Nawarin sesuatu.
“Lebih enak kalo di sana!” katanya sambil menunjuk ke arah lautan lepas.
Gak terlalu jauh dari pantai, tampak permukaan atol (baca: pulau karang) yang kelihatannya cukup privacy.
Davis pernah ke sana dan dia terobsesi ke sana lagi. Di sana, katanya, kita bisa teriak sekencang-kencangnya buat ngendurin otot polos batang tenggorokan alias memacu adrenalin yang uj,ung-ujungnya bisa redain stress..
Hm…kelihatannya mengasyikkan!pikirku.
“Naik perahu bapak saja,” katanya lagi menawarkan, sambil menyebutkan rupiah yang harus kami keluarkan.
Kami berembuk sebentar. Tapi…demi alasan keamanan, kata Andy, kami menolak tawaran bapak itu. Huh..! Aku dan Davis yang sudah nggak sabaran mau ke sana, harus berpuas diri menikmati makan siang kami di pinggir pantai.
Kelar makan siang, saatnya bermain di pantai!
Setelah berganti pakaian di kamar mandi kecil yang disediain (Lagi-lagi ngeluarin duit seribu rupiah. Entah untuk yang keberapa kalinya. Toilet di SPBU. Toilet di Pasar Atas. Parkiran. Huh! Masa harus bangkrut karena seribu rupiah yang dengan ‘gampang’nya dikeluarin? Bisa jadi PAD nya lebih banyak dari sini, pikirku.), kami menuju bibir pantai.
Lee rupanya sudah nyebur duluan.
‘Ayok, kak! Katanya mau balas dendam. Hehehe…!’ ledeknya.
Aku jadi teringat sesuatu.
—–
Dua minggu sebelumnya…
Hampir seharian kami di kampus bantuin Tetti. Dia akan meneliti pertumbuhan benih coklat yang dikasih perlakuan pestisida. Kami bantu nyiapin media tanamnya. Tanah hitam biasa sih, tapi perlu diayak.
Baru aja pekerjaan kami siap, tiba-tiba hujan turun. Satu-satunya tempat berteduh yang memungkinkan cuma di rumah kasa. Entah sudah berapa lama kami berteduh, tiba-tiba Elda kasih saran.
“Kita ke Lab. Biotek aja, yok!”
Kami pun setuju.
Hujan belum reda benar dan bikin jalanan jadi becek.
Entah siapa yang mulai duluan, di tengah-tengah gerimis, aku dan Lee justru kejar-kejaran, saling lempar pasir dan air. Hasilnya, rambutku basah dan bagian bawah celanaku banyak pasir. Davis tertawa histeris menyemangati, Tetty bengong tapi senyum, Damro cuma bisa ngelihatin kami tanpa ekspresi yang bisa ditebak, dan Elda senyum-senyum sambil geleng-geleng kepala heran melihat tingkah kami kayak anak-anak.
“Lee, tunggu pembalasanku di pantai ya!!!” Kataku geram.
Lee cuma ketawa nyengir sambil bilang,” Macam betul aja kita mau ke pantai.”
Katanya kandungan garam lautan tinggi, jadi bisa bikin kita ngapung. Aku dan Nelly sempat belajar renang–Andy dan Damro yang ngajarin–tapi tetap aja nggak bisa-bisa.
Puas main di laut, Andy pun menuju bibir pantai.
“Ha! Udah kayak baywatch pula si Andy!” Celetuk Lee nggak kira-kira.
Aku sama Davis yang nggak jauh dari mereka noleh. Samar-samar, kelihatan siluet underwear Andy dibalik celana pendek warna putih gadingnya yang dipakainya buat berenang. Kami jadi ketawa cekikikan.
Andy malah cuek. Mungkin dia nggak nyadar kalau lagi digosipin.
Aku duduk di hamparan pasir, melihat beragam aktivitas yang ada.
Kelihatan ada perahu yang sedang didorong menuju laut. Iseng, aku, Lee dan Andy ke sana. Nggak jauh dari kami, Davis sudah siap-siap mengambil foto aku dan Lee yang berpura-pura mendorong perahu.
Dari kejauhan, Damro lagi asyik-asyiknya mengapung di atas ban pelampung, membiarkan diombang-ambingkan gelombang laut.
Di pantai, Davis, Lee dan Nelly sibuk menimbun Andy yang tiduran di pantai dengan pasir pantai.Yang tersisa cuma bagian mukanya. [....]
Kelihatannya seru nih!pikirku. Aku dan Damro pun ikut bergabung dengan mereka.
Nggak ketinggalan dong, harus foto-foto!
Kami terpaksa minta tolong sama dua cewek yang kebetulan lewat. Lucunya, setelah kami yang mereka foto-foto, eh mereka malah minta difotoin, pake kamera kami!
Nggak terasa, hari sudah agak sore. Sebelum jam 4, Andy ngingatin untuk berkemas, biar bisa on time sesuai planning.
Aku menuju mobil, ngambil handuk dan pakaian bersih, trus pergi ke kamar mandi. Memang nggak ada bak mandi, tapi air dari kran mengalir terus dan tertampung di ember besar.
Huh…semua pakaianku penuh dengan pasir!
Rencana untuk mandi dengan bersih tiba-tiba buyar begitu aja. Di luar, kedengarannya sudah banyak yang antri. Kayaknya Nelly ada di situ. Pintu kamar mandi sudah mulai digedor-gedor tak sabaran. Huh, mau nggak mau, harus mandi secepat kilat.
Tuh, benar kan! Keluar dari kamar mandi, Nelly sudah ikutan ngantri.
“Berisik kali pun! Nggak sabaran amat, jadi nggak sempat mandi bersih nih!” gerutuku ke Nelly.
Aku cepat-cepat ke mobil, nyisir rambut dan pake bedak. Pas sedang pake lipgloss, Andy datang.
“Rame kali yach..! Untung aku sempat pake shampo,” kata Andy sambil ngeluarin tas nya.
“Kok bisa?” tanyaku heran. Soalnya waktu ngumpul di rumah Andy sebelum berangkat, aku masih sempat liat mereka beres-beres dan tau benar kalo dia nggak bawa shampo.
“Iya, aku pake shampo yang tergeletak di situ,” katanya sambil ketawa.
Aku pun senyum-senyum mendengarnya.
Setelah Andy pergi, Davis pun datang.
“Andy mana? Tak sopan budak tu ha! Masa’ dia nawarin pake shampo orang lain? Katanya, kak Vis, kalo mau pake sabun sama shampo, ada di dalam, kutinggalkan. Eh, nggak taunya, lagi asik-asiknya pake shampo, bapak-bapak yang punya shampo datang menggedor-gedor pintu kamar mandi minta shamponya.” Davispun panjang lebar menjelaskan sambil mengoleskan hand-body lotionnya.
“Hahaha….” Aku ketawa cekikikan mendengarnya.
Keluar dari daerah Pantai Caroline, saatnya menuju spot pantai lainnya.
Di perempatan jalan Sultan Sahrir, belok kiri…ke Pantai Air Manis. ….
Sebelum nyampe di pantai yang dimaksud, ada beberapa ‘pintu masuk’ yang harus kami lewati. Di tiap ‘pintu masuk’, kami disambut beberapa pemuda udah siap nerima tagihan uang masuk.
Di pantai, nampak orang-orang yang sedang surfing.
Pantai Air Manis beken dengan legenda Malin Kundangnya.
Dari tempat Avanza diparkirin, kami harus jalan kaki menuju situs Malin Kundang. Ada jembatan bambu darurat yang harus dilalui. Jembatan ini berada di atas aliran sungai kecil yang bermuara ke laut. Kami juga harus melewati berbagai penjual aneka cinderamata dan aksesoris dari kerang-kerangan dan karang.
Ngeliat langsung dengan mata kepala sendiri, sempat bikin bergidik ngeri juga. Tampak onggokan sisa badan kapal yang pecah dan tumpukan tali jangkar yang berserakan.
Di salah satu bagian, kelihatan sesuatu mirip badan manusia yang sedang berjongkok, agak menelungkup ke tanah. Ceritanya, itulah si Malin Kundang yang terkena abrakadabra ketukan emaknya.
Semuanya sudah membatu dan benar-benar mirip.
Ada yang bilang kalau nggak semua tali jangkarnya asli waktu kapal Malin Kundang berlabuh. Kabarnya, itu hasil kerjaan mahasiswa seni rupa, agar suasana lebih hidup.
Yach…terlepas dari benar atau nggaknya cerita ini, sayang sekali kalau Pemda setempat tidak mengelolanya dengan baik sebagai aset wisata.
Waktu Avanza yang kami naiki keluar dari area pantai, kami dikenakan biaya lagi. Uang parkir.
“Lho, bukannya tadi waktu masuk udah?” Lee yang duduk di depan heran.
“Iya. Sekarang uang parkir dan keamanan,” sahut salah satu dari mereka yang pake t-shirt hijau lumut.
“Eeee…karcis parkir dan seragamnya mana?” Tanya Lee lagi, curiga kalau mereka tukang palak.
“Udah…kasih aja!”
Lee nggak menggubris kata-kata Andy barusan yang berbicara setengah berbisik. Mungkin Andy nggak mau cari masalah.
“Lokasi ini punya pribadi,” sahut cowok yang tadi. Kental dengan logat minangnya.
Akhirnya Lee ngasih lembaran duit seribuan sesuai dengan nominal yang mereka sebutkan.
Total, kami harus merogok kocek sebesar empat ribu rupiah per orang.
Bayangin! Hitungannya per orang, bukan per kendaraan!
Wuih, gampang bener cari duit ya…?
05.30 p.m. Ke Pantai Padang. Cuma butuh sekitar 30 menit ke pantai yang berada di pinggiran jalan raya ini. Sayang, kami terlambat menikmati sunset di sini.
Di sepanjang jalan pinggiran pantai, banyak pedagang yang jual aneka makanan. Mungkin ini salah satu tempat nongkrong anak muda kota ini.
Kami belum niat makan.
Kami cuma duduk-duduk di pinggir pantai. Menikmati deburan ombak pantainya yang menghempas beton pembatas.
Lee berdiri dengan jarak yang lumayan jauh dari kami.
Kira-kira seperempat jam berikutnya, dia datang mendekat. Baru aja dia duduk, seseorang menghampirinya.
“Mobil yang itu sudah bayar uang parkir?” tanyanya sambil menunjuk Avanza kami.
Lee memperhatikan orang itu sambil menggeleng. Heran.
“Uang parkirnya dua ribu.”
Lee makin heran.
“Tanda parkirnya mana?”tanyanya.
Selembar kertas berukuran kecil disodorkan. Karcis parkir. Lee melirik kami yang cuma bisa angkat bahu, mengeluarkan uang dan menyerahkannya ke orang itu.
“Kok uang parkirnya mahal betul? Biasanya kan seribu?” tanya Lee.
“Iya, tapi peraturannya memang gitu,” jelas orang itu.
Setelah orang itu pergi, tiba-tiba Davis nyeletuk. “Tapi, kalo dipikir-pikir, kita kan udah duduk dari tadi di sini, kok nggak dimintain uang parkir ya? Padahal, Lee kan jauh dari kita dan dia baruuu… aja gabung”.
“Lee, mungkin tampangmu cocok buat dimintain duit,” sambungnya sambil tertawa. Kami pun jadi ikutan ketawa.
Lee cuma tersenyum kecut.
09.00 p.m. Gawat! Yang benar aja. Lee yang kami percayakan megang uang, ngasih tahu aku sesuatu yang sangat tidak ingin kami dengarkan.
DOMPETNYA HILANG!!
Itu berarti, kartu identitas dan uang kami [termasuk uang pribadinya, tentu] pun hilang.
Lee kelihatan begitu panik. Berkali-kali dia memeriksa saku celana dan jaketnya, trus melongok ke dalam laci dashboard dan bagian bawah kursi depan mobil.
“Ada?” tanyaku.
Dia cuma menjawab dengan gelengan.
“Coba diingat dulu, terakhir kali kau letakkan dimana?” tanyaku lagi.
Lee terdiam di kursi mobil. Mikir. Nggak lama dia menjawab,” Tadi aku letak di atas jaket. Jaketnya terhampar di pangkuanku”. “Kalo nggak salah,” katanya lagi.
“Kenapa?” Damro tiba-tiba udah ada di dekat kami. “Ada yang hilang?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Dompet Lee. Termasuk uang kita,” kataku pelan.
“Atau, jangan-jangan… jatuh di jalan?” tanya Damro. Sepertinya dia sudah mendengar percakapan kami nggak sengaja dan pertanyaannya tadi cuma konfirmasi. “Kan bang Lee dari tadi turun naik waktu nanya alamat.”
Mendengar itu, Lee langsung menuju ke jalan. Damro mengikuti.
“Kalian mo kemana?”tanyaku.
“Mana tau masih keliatan kalo tercecer di jalan yang kita lewati tadi,” kata Lee sebelum pergi.
“Mereka mau ke mana?” tanya Davis dan Nelly yang tiba-tiba udah ada di belakangku. Aku menoleh ke belakang.
Andy mash asyik ngobrol dengan bang Herbert.
“Nyari dompet Lee. Katanya ilang. Uang kita juga ada di dalamnya,” jelasku. “Tadi udah dicari di dalam mobil, tapi nggak ketemu,” lanjutku.
“Kalo gitu, gimana kalau kita keluarin dulu barang-barang kita, biar lebih gampang nyarinya,” usul Nelly.
Aku dan Davis mengangguk setuju.
Setelah barang-barang dikeluarin dari mobil, sekaligus mau membersihkan bagian dalam mobil, Lee udah kembali.
“Ada kak?” tanyanya padaku. Aku menggeleng.
Sama-sama kami mengeluarkan karpet mobil dan menyapunya.
Andy menghampiri kami. Bang Herbert ada di belakangnya.
Melihatku yang sibuk memeriksa ulang bagian bawah kolong kursi mobil dan kantong yang ada di belakang kursi, Andy nanya,”Nyari apa kak?”
“Ini nih. Dompet Lee hilang,” jawabku.
Aku merasa nggak perlu menjelaskan. Sebelum berangkat, Andy tahu pasti kalo di dompet itu ada uang pribadi yang digabungin dengan uang bersama.
“Hm…tapi nggak mungkin hilanglah. Pasti cuma keselip,” kataku ke cowok yang ngakunya melankolik abis itu. [Huh,masa melankolik diabisin semua ma dia. Rakut amat. ^_*]
Ku lihat Lee kembali terdiam di kursi mobil.
“Pasti Andy marah besar,” katanya lesu, setelah melihat Andy diam-diam menjauh dari mereka.
“Aku heran. Masa’ sih bisa hilang? Pasti cuma keselip!” kataku lagi ke Lee. Penasaran. Sekaligus coba menghiburnya. Kelihatan sekali dia merasa bersalah.
“Atau….” Mimik wajah Lee tiba-tiba berubah sedikit cerah. “Ayolah kak…dompetku kakak yang sembunyikan kan?”
“Apa?!” kataku kaget. Enak aja, mentang-mentang masih bisa tenang dan senyum, dikirain aku ngerjain dia. Yach…memang sih, aku lumayan sering ngerjain orang…hehe…
“Iya. Dompetnya emang aku simpan. Nih!” kataku sewot sambil pura-pura ngeluarin sesuatu dari sakuku dan menyodorkannya ke Lee. Lah, tapi kali ini aku memang sedang bukan ngerjain orang, kok?!
“Ya, udahlah. Sekarang kita cari makan aja yok!” Ajak Andy yang udah ada di dekat kami.
Sebelum semua naik ke mobil, Andy sempat menyikut Davis. “Nanti, uang makannya kita yang mendahulukan, bisa kan kak Vis?” tanyanya pelan. Davis mengangguk.
Setelah makan nasi kapau di jalan M.Yamin, kami mampir ke Univ. Andalas.
Di sini kami cuma duduk-duduk dan di depan auditoriumnya.
Masuk di kawasan universitas ini bikin sedikit ngiri. Lampu-lampu cukup terang untuk bisa melihat-lihat meski hampir tengah malam. Gedungnya cukup megah dan konon, ini termasuk gedung pendidikan tertua di Sumatera.
Beberapa waktu sebelumnya, aku juga pernah ikut semacam study tour ke sini. Aku lupa dari bagian mana di Unand ini, tapi karena waktu itu sore hari, kami bisa menikmati view sunset yang sangat cantik.
Setelah dari Unand yang tanpa tujuan itu, bang Herbert ngajak nongkrong di Jembatan Siti Nurbaya. Sudah lewat dari jam 10 malam, tapi tempat ini belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Pedagang jagung bakar dan roti bakar berjejer di sepanjang pinggiran jembatan. Puluhan kendaraan bermotor dari berbagai merek juga ada di situ untuk sekedar ngumpul atau menikmati jagung bakar.
Dari atas jembatan, kelihatan beberapa kapal motor yang ditambat beraturan.
“Kapal-kapal itu menuju ke kepulauan Mentawai,” tunjuk bang Herbert. “Dan di sana..,” katanya sambil menunjuk sisi lain dari tempat itu, “Itu adalah bagian dari perbukitan Bukit Barisan. Orang-orang sini bilang Gunung Padang.” Tampak di sepanjang lereng kerlap-kerlip lampu rumah di pemukiman sekitar situ.
“Yach…Jembatan yang melintasi sungai Harau ini tergolong baru, karena baru beberapa tahun lalu diresmikan. Anak-anak muda sampe keluarga sering ngumpul di sini. Jagung bakar di sini nggak kalah enak kan?” Promosi bang Herbert panjang lebar.
Lee, yang sepertinya menikmati betul tiap gigitan jagung bakarnya berkomentar. ” He_eh! Bahkan jauh lebih enak daripada jagung bakar yang pernah ku makan.”
“Oh ya? Mungkin bumbu santannya yang bikin gurih,” sahut bang Herbert.
________
Aku pernah baca di internet, kalo jembatan sepanjang 700 m ini sebenarnya jalan penghubung ke suatu tempat yang ada setumpukan batu yang dianggap sebagai makam Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri dan dibikin dengan duit Rp. 18,8 M. Saat diresmikan, Novia Kolopaking sama Gusti Randa, pemeran tokoh Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri itu, ikut.
Hm…aku jadi teringat dengan roman Siti Nurbaya. Marah Rusli, penulisnya, bikin cerita non fiksi kan? Tapi, kenapa masyarakat sini yakin kalau itu makam Siti Nurbaya? Soalnya cerita itu kan bukan tergolong cerita rakyat seperti Malin Kundang?
…Jembatan Siti Nurbaya, jembatan doa. Titian kasih sayang, bagi siapa saja yang merindukannya. Hikmatnya persaudaraan dan adilnya kesejahteraan….
– Puisi Emha Ainun Nadjib –
_______
– to be continues…
Nah, kelanjutannya di ESCAPE TO SUMBAR: Part #2  loh…:D

Posting Komentar - Back to Content