Escape to SumBar: Part #2 (Selesai)


Hai…aku balek lage dgn cerita real ESCAPE TO SUMBAR: Part 2
Msh ingt crita ttg kami yg nyasar gara2 polisi salah kasih tunjuk arah ke pantai Caroline?
Msh ingt ttg kami yg gaje alias gak jelas gitu di kampus Andalas tgh malam?
Atau, msh ingt peristiwa uang bersama yg ilang ‘di tangan’ bendahara kami? :)
hei…it still needed ur thumbs if u like and ur any comments to make this story better y…
tengkiu…:)
So…this is it…
our escape for all of you, guyz…don’t miss it!!


-Cast-
Andy : Our best driver…
>> Luv this person so much..coz udh relain bokongnya pegal2 buat jadi driver..ckck…
Damro : As M.O. ato Manager Operational
>> Hm…dari segi mananya ya? Hehe…
Davis : Promotour + Teman buat seru-seruan di mana aja.. Hahaha..
>> Mending dengerin budak nie daripada polisi yang bikin mutar2 cari patung ikan tu lah…hihi..
Lee: Our navigator t’beken merangkap bendahara…
>> Nih anak juga selalu berurusan dengan tukang parkir and duit ilang… =)
Herlinawaty: As a writer
>> Kalo ada moment yang kurang…Konfirm ke aku ya… Nih masih tahap pengeditan koq… :p
Nelly : Camerawoman…
>> Nelly nie yang spnjg prjalanan RUTIN tidoer… tapi,bukan berarti ga ada cerita seru dari doi…hehe..apalagi doi yang jadi salah satu penyelamat pas uang di bendahara ilang..(thx ya Nel..)
12.00 p.m.  Di rumah bang Herbert …(lagi!)
“Woi…tukaranlah!!” bujukku ke Lee, Damro, Davis sama Nelly yang bergantian mukul bola ping pong. Aku lagi tiduran di tikar. Bantal ikan genit warna kuning cerah dengan bibir tebal berwarna merah menyala punya Lee kupake jadi alas kepala.
Mungkin, saking asyiknya main, aku dicuekin. Huh! Geregetan, aku menghampiri mereka.
Davis mengalah dan akhirnya aku bisa main dengan mereka. Cihuy…!!
Dulu, waktu aku KKN di Indragiri Hulu [Hm..Coba kuingat-ingat dulu ya. Nama kecamatannya Kelayang. Desanya  Simpang Kelayang], aku juga pernah main ping pong. Murid-murid SD yang ku ajar yang ngajak. Karena aku tidak pandai main, jadilah aku main ping pong dengan asal. Pokoknya asal sudah dapat mukul bola, sudah bagus. ^_^
Nah, itu masih berlaku saat ini. Tapi, sedikit-sedikit aku belajar main dengan benar.
Awalnya semua main dengan tertib alias bergantian. Tapi, semakin malam semakin kacau.
SEMUA pengen maen!!!
Raket yang ada cuma 4 biji dan itu jelas nggak cukup buat kami berenam. Jadi, entah siapa yang  mulai duluan, mulai dari telapak tangan sendiri sampai sandal jepit pun dijadikan raket. Pokoknya apapun dimanfaatin asal bisa menangkis bola bulat kecil putih ringan itu! Nggak ada satupun yang mau melewatkan kesempatan untuk membalas pukulan bola dari lawan main. Belum lagi kalau ada teriakan-teriakan yang bernada perintah supaya partner maen nya jangan sampai nggak bisa menangkis bola. Setiap kali bola berhasil ditangkis oleh sandal jepit sebagai raket, semua ketawa heboh kegirangan. Seru abis!!, sampai satu per satu mereka undur main. Mungkin capek. Terakhir, cuma menyisakan Damro sebagai lawan mainku. Wah, pukulan-pukulan smashnya bikin aku ciut. Hehe..
Pukul 1 dini hari lewat sedikit.
Kami baru ada di tempat tidur kami masing-masing yang ada di lantai 2. Rupanya bang Herbert dan teman satu kontrakannya rupanya sudah nyediain kasur yang cukup buat kami. Cewek-cewek di kamar tersendiri. Begitupun dengan cowok-cowoknya.
Aku memperhatikan kamar yang kami pakai dari pintu kamar. Sejajar dengan pintu kamar, ada tipi 21 inchi dengan posisi kira-kira 30° dan di sebelah kananku ada lemari kayu besar dengan sebuah meja kayu di sampingnya.
Davis sama Nelly sudah duluan milih bagian dari tiga buah kasur tanpa rangka tempat tidur yang disediakan dan menyisakan kasur terujung, tepat di samping dinding sebelah kanan. Pas betul, pikirku. Aku memang lebih suka berada di posisi sebelah pinggir seperti itu.
Aku merebahkan diri di kasurku. Lega. Kulihat Davis sudah mejamin mata. Nelly baru aja selesai berdoa. Iseng, Nelly ngidupin tipi yang ada di dekatnya. Hampir tanpa bersuara kami bilang ke Nelly kalo nanti Andy cs pasti menegur kami karena volume tipi nya mengganggu mereka.
Karena kamar kami bersebelahan, mungkin suara tipi sampai juga ke telinga mereka.
Nah, tuh kan…Benar saja. Baru aja diingatin, kedengaran suara.
“Eh, tidur lagi kalian!” seru Andy dari kamar sebelah.
Sambil tertawa cekikikan, Nelly mengecilkan volume tipi dan mengganti-ganti channel. Nggak ada siaran yang menarik.
Nelly pun menekan tombol power.
Off.
Kuambil Alkitabku dan duduk bersila menghadap lemari kayu. Berdoa dan tidur.
J J J
06.00 a.m. Ini hari terakhir dari rute dan kami ada di rumah bang Herbert sekarang.
Ku lihat jam tangan yang semalam aku letakkan di samping bantal.
Baru pukul 4. Dengan posisi masih berbaring, kulihat Davis dan Nelly masih tidur.
Terdengar langkah kaki yang bergesekan dengan lantai semen sedang mondar mandir. Sepagi ini cowok-cowok udah bangun? pikirku.
Tiba-tiba mataku terpaku pada jam weker ayam-ayaman yang ada di atas lemari, tepat di samping tumpukan majalah Duit! –Semalam aku sempat ngebaca cover depannya sekilas. Meskipun tertarik, aku nggak berani baca isinya. Bukan punyaku, pikirku. Ntar kalo ada yang hilang, jangan-jangan bisa jadi tersangka nih, pikirku parno– pukul 06.05.a.m.
Kulihat lagi jam tanganku yang kata Hans jam tangan robot itu dengan teliti. Ternyata mati! Huh, ada yang salah nih.
Hadiah ultah dari bapak 9 tahun lalu ini sudah mulai layak dimuseumkan atau cuma baterainya sudah tidak sanggup menggerakkan jarum jamnya? Lah, tapi, ini kan baru sebulan lalu aku ganti baterainya? Pikirku heran.
Akhirnya, aku duduk bersila — masih di atas kasur — dan melipat tangan. Doa pagi. Bersyukur atas penyertaanNya sepanjang malam dan kepercayaanNya untuk ‘cerita’ baru yang akan kami lalui.
Setelah gerak-gerak badan sedikit, kuputuskan keluar kamar. Dari pintu kamar cowok-cowok yang sedikit kebuka, kulihat Andy lagi berdoa. Lee dan Damro kayaknya masih tidur.
Aku ke lantai bawah. Cepat-cepat ngambil handuk dan perlengkapan mandi dari backpack ku. Nggak mau dibilang miss. telat lagi. Hehe…
Di tiap lantai memang ada kamar mandinya. Aku milih ke kamar mandi di lantai 1. Mandi sepuasnya. Bersih dan segar.
Keluar dari kamar mandi, kulihat Davis yang juga siap-siap mau mandi. Kuambil tas kecilku dan naik ke lantai atas. Di tangga, aku berpapasan dengan Nelly dan meneruskan langkahku setelah say hello dengannya. Kusampirkan handukku di jemuran kecil yang ada di dekat kamar mandi lantai atas, masuk ke kamar dan pakai bedak.
08.00 a.m. Sambil nungguin Andy dan Lee selesai mandi, aku masih sempat-sempatnya maen tenis meja dengan Damro. Padahal, dia sendiri belum mandi. Aku masih geram dengan pukulan-pukulan telaknya semalam. Tapi, aku nggak mau banyak gerak. Takut keringatan. Hm…permainanku ada sedikit kemajuan atau ada yang mengalah ya?^_^
Setelah Damro selesai mandi, sarapan lontong dan Davis masak air panas buat melarutkan minuman berenergi dan sereal ke dalam botol air minuman mineral, kami pun berangkat.
Andy membawa Avanza keluar dari kota Padang. 11.15 a.m melewati Lembah Anai dan berhenti sebentar. Kalau mau ke dalam areal air terjun yang tepat ada di pinggir jalan ini, dikenai retribusi Rp.1500,- Begitu turun dari mobil, kami langsung menuju ke seberang jalan, di sana ada  rel kereta api barang. Dari situ, air terjun sebagai background juga nggak kalah cantik buat … apalagi kalau bukan…foto-foto!!!
11.35 a.m. Perjalanan dilanjutkan. Avanza melewati jl. Raya Padang Luar [singgah sebentar buat beli oleh-oleh:Keripik sanjai and the gank. Di sini, banyak banget kios yang jual aneka jajanan dari produk Manihot utilisima (baca: singkong) itu..] — Kec. Baso — Kec. Payakumbuh.
02.00 p.m lewat perbatasan Kab. Payamkumbuh. Andy memberhentikan mobil di dekat pos polisi. Nggak jauh dari posisi kami, kelihatan jelas papan penunjuk lokasi wisata bertuliskan ‘LEMBAH HARAU’. Berarti, nggak lama lagi, daerah tujuan wisata terakhir sudah ada di depan mata!
Kami sudah ada di persimpangan jalannya. Apalagi yang ditunggu? Hm…kalau aku dan yang lainnya berharap melanjutkan perjalanan ke Lembah Harau, Andy dan Damro justru keberatan.  Mereka khawatir tidak sempat ikut pertemuan jam 7 malam nanti. Jadi, butuh  beberapa pertimbangan dan perdebatan kecil sebelum akhirnya 10 menit kemudian….
Kami memutuskan: Masuk!!
Di peta wisata yang kami bawa, tertulis kalau Lembah Harau ini lembah subur seluas 315 Ha.
Sepanjang perjalanan, yang terlihat cuma dinding batu granit terjal dengan ketinggian 100-150 m. Mungkin bisa bikin ngiler para pemanjat tebing. Data yang ada di peta wisata itu juga menuliskan kalau Harau Cliff Coffe Shop di Bukittinggi bisa mengakomodir panjat tebing itu.
Di beberapa titik tertentu, ada air terjun kecil yang menghiasi tebing.
Makin dekat ke tujuan, ada petunjuk lagi.
Belok kiri ke Lembah Harau, ke kanan ke Perkemahan Bustami.
Menurut rekomendasi Davis, di Perkemahan Bustami ini lebih privacy dan lebih nyaman. Bisa berenang juga di sana.
Karena aku sudah pernah ke Lembah Harau, aku kepancing rekomendasinya Davis. Kesempatan  untuk lihat sesuatu yang beda kan?
Karena yang lain ngikut aja, Andy mengalah. Perlahan Avanza berbelok ke arah kanan.
Turun dari mobil, harus jalan kaki lagi menuju tempat yang sebenarnya. Melewati penduduk tempatan yang jual tanaman dan menyusuri jalan setapak yang kiri kanannya hutan. Di beberapa tempat kelihatan pernah dipakai buat camping.
And now…Wow! Serasah alias air terjun dengan telaga yang indah terpapar di depan mata. Ck…ck…ck..
Para cowok langsung ganti baju dan menuju air terjun. Lee yang lebih dulu, trus Damro dan disusul sama Andy yang bertelanjang dada.
Supaya bisa tepat berada di bawah air terjun, mereka harus sedikit mendaki bebatuan besar dan berdiri di atasnya. Baru sebentar saja, dengan posisi jongkok dan mendekap kedua lengan tangannya merapat ke tubuh, Andy kelihatan menggigil kedinginan.
Aliran air, termasuk percikan air terjun yang menusuk-nusuk kulit tubuh seperti ini dipercaya sebagai terapi yang bisa bikin rileks. Akupuntur alami kali ya? Yang jelas, tiga orang ini sepertinya menikmati sekali mandi di bawah shower raksasa ini. Wuih, melihat mereka senang, kami pun ikutan senang.
Kami bertiga pun nggak mau ketinggalan. Setelah menaikkan gulungan celana panjang hingga ke lutut, kami pun masuk ke telaga. Dengan teriak kegirangan, kami memberikan kode ke cowok-cowok yang masih di bawah air terjun. Nelly sudah siap dengan kameranya…dan para cowok sibuk dengan stylenya masing-masing.
Dari atas sebuah batuan besar, Lee bilang kalo ada pelangi di tengah-tengah air yang menguncur deras itu. Nelly rupanya penasaran. Dia berusaha mendekati teman-teman cowok dan berhenti sebentar dekat batuan besar itu. Waktu percikan-percikan air terjun mengenai tubuhnya, spontan dia berteriak,” Kak, kita nggak bawa payung ya?”
Aku dan Davis saling liat.
“Heh,?? Emangnya hujan, pake payung segala?” Ledekku sambil tertawa.
Setelah puas basah-basahan di bawah air terjun, mereka main di telaga. Kebetulan waktu itu debit airnya rendah, nggak cocok buat berenang.
Beberapa menit kemudian, kami beranjak meninggalkan tempat ini, melewati pedagang tanaman hias.  Beragam jenis tanaman hias yang dijejerkan. Kebanyakan tanaman hias khas daerah dataran tinggi setempat.
Aku berhenti di salah satu tempat. Setelah tanya ini itu dan bikin sedikit nego dengan alasan mau dibawa ke Pekanbaru yang berketinggian beda dengan Sumatera Barat, akhirnya aku mengeluarkan duit 7 ribu rupiah untuk satu buah tanaman Nepenthes sp.  [baca: kantong semar atau periuk monyet] berwarna coklat yang dari tadi jadi incaranku. Memang, tanaman ini tergolong tanaman hutan dan di daerah ku hanya bisa didapat dari hutan-hutan Kab. Kampar, tepatnya di daerah sekitar Kecamatan Bangkinang Seberang, Kelurahan Pasirsialang.. Nggak banyak pedagang tanaman hias yang berminat menjualnya. Mudah-mudahan saja Nepenthes yang ini bisa beradaptasi di daerah dataran rendah.
Ternyata Andy tidak langsung membawa Avanza berbelok ke kiri. Avanza justru diarahkan ke  Lembah Harau untuk sekedar melihat-lihat. Di tempat ini, air terjunnya hampir sama menariknya. Hanya saja, di sini telaganya sudah disemen, dibuat mirip kolam renang. Di sini jauh lebih banyak pengunjungnya dan hampir semuanya berenang.
Tidak lama, tanpa menghentikan mobil, Avanza langsung diarahkan menyusuri jalanan masuk tadi buat keluar dari lokasi wisata.
Pukul 3.00 p.m. Kami menyempatkan beli nasi bungkus dari rumah makan yang dilalui dan berencana menikmatinya di dalam mobil. Entah apa pasal, kami sempat ‘bersitegang’ di sini.
Avanza terus melaju pelan tapi pasti, sementara kami sibuk berceloteh bagaimana caranya kami akan menikmati nasi bungkus dalam kendaraan yang bergerak sementara ada nasi bungkus yang sengaja dibeli untuk berbagi dengan teman yang lain.
Mendekati kelok 9, mobil melaju semakin kencang. Davis, Nelly, Damro dan Lee sibuk berpindah tempat. Aku yang anteng duduk di belakang cuma geleng-geleng kepala bisa melihat mereka yang sibuk pindah sana pindah sini dalam mobil yang sedang berjalan.
Damro yang duduk di tengah, sudah pindah ke depan, di samping Andy yang nyupir. Lee sudah pindah ke tengah.
Sementara itu, Nelly dan Davis bertukar tempat. Nelly ke tengah, Davis ke belakang.
Sambil digoyang-goyang mobil yang melewati kelokan tajam, Nelly sama Lee duduk berhadapan, terlihat konsentrasi penuh ke nasi bungkus mereka. Seolah nggak mau ada sebutir nasi pun yang terbang lewat jendela.
Sementara Andy tetap serius mengemudikan mobil dan Damro menyenderkan tubuhnya dengan mata terpejam, aku dan Davis yang juga duduk berhadap-hadapan, malah sibuk berceloteh dan ketawa cekikikan. Nasi bungkus yang kami buka sudah sedikit berserakan. Sibuk membersihkan remah-remah nasi yang berjatuhan, aku tidak terlalu mempedulikan Davis yang sibuk pula menyendoki nasi ke kotak nasi yang kami bawa. Meski kepayahan, kami tetap bisa menikmati makan siang kami. Sampai kelokan terakhir di kelok 9.
Baru beberapa menit kami menghabiskan nasi bungkus, terdengar keluhan. Lee mengeluh sangat pusing. Nelly merasa sedikit mual. Minyak angin yang mereka pakai dari tadi tidak bisa meringankan keluhan mereka.
Akhirnya, Andy memutuskan untuk menghentikan mobil di lokasi yang tepat, di pinggir jalan yang tidak terganggu atau mengganggu lalin. Lee dan Nelly tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menghirup udara segar. Damro pun kelihatannya sedikit mabuk darat. Kusodorkan antimo yang kusediakan ke mereka. Kelihatan Andy  meregang-regangkan ototnya. “Sebenarnya aku pun dari tadi udah agak pegal-pegal. Kok bisa ya, kak?” katanya sambil menepuk-nepuk bokongnya. Aku cuma bengong. Bokong yang pegal?
Setelah semua merasa baikan, perjalanan dilanjutkan. Mobil sudah berada di jalanan lurus. Laju mobil semakin dipercepat. Tapi, kali ini aku yang bikin ‘ulah’. Menurutku, Andy makin gila-gilaan aja ngebawa Avanza ini. Tidak sekalem perjalanan pergi. Maklum. Mungkin karena mengejar waktu. Aku mulai merasakan isi perutku bergoncang-goncang, kayak diaduk-aduk hebat. Sepertinya ada sesuatu yang hampir keluar dari kerongkonganku. Kuraih permen vitamin C yang kuselipkan di saku jaketku yang kusampirkan di kursi tengah dengan cepat dan mengecapnya. Aman.
Tapi, tak berapa lama…perutku terasa sakit. Rasanya aku harus pup [baca: buang air besar]. Dengan volume suara tak terlalu kuat, aku ngomong,“ Ndy, nanti kalau ada rumah makan atau SPBU, kita berhenti ya.”
Beberapa saat kemudian, aku melihat SPBU dari kejauhan.
“Wah, berakhir sudah pernderitaanku dengan segera.” pikirku.
Tapi…ya ampun, ternyata Andy hanya melewati SPBU itu.
Aduh, sepertinya Andy tidak mengindahkanku. Mungkin dia tidak mendengar. Atau mungkin sentimen? Pfhh…
Sampai akhirnya… Damro yang duduk di kursi tengah yang memberitahu Andy.
Ok! Akhirnya kami berhenti di depan sebuah kedai kopi. Tanpa ba bi bu dan tanpa mempedulikan kalau semua yang ada di kedai kopi itu laki-laki, aku nanya dan sekaligus minta izin ke salah satu pelayan [yang juga laki-laki!] untuk ke kamar kecilnya.
Kamar kecil yang dimaksud ada di bagian belakang luar kedai kopi dan benar-benar darurat. Dinding dan alasnya terbuat dari kayu dan dikelilingi terpal biru tanpa atap. Tidak ada semacam saluran pembuangannya gitu. Adanya di atas semacam empang, lengkap dengan ikan-ikannya. Pffhh…Persis deh seperti jambangan atau MCK darurat yang ada di desa-desa terpencil. Sementara aku sibuk sendiri di kamar yang benar-benar ‘kecil’ itu , Davis terus saja sibuk meledekku. Dasar Davis jahil! Argh!!
07.00 p.m. Avanza sampai di Pekanbaru dan langsung mengantarkan Nelly ke rumahnya. Sekitar jam 10 malam, setelah makan malam, istirahat bentar dan mandiin Avanza sewaan itu, barulah Davis, Damro dan aku diantar pulang.
Andy dan Damro tidak jadi pertemuan.
*******
Esok paginya sekitar jam 9…
“Cie…! Benar-benar tahan banting dang..,” komentar Davis begitu melihatku menghampirinya di halte bis.
Pagi ini kami janjian mau berangkat bareng ke kampus. “Capek kali lah kita yang baru pulang semalam tu,” lanjutnya.
Urusan dari kampus selesai, kami mampir ke rumah Andy. Lee, yang tinggal di rumah Andy, rupanya sedang sakit. Suhu badannya tinggi. Saking takutnya, dia berkomentar,” Kak, ciri-ciri orang yang kena flu burung gimana?” Demam flu burung waktu itu memang lagi panas-panasnya.
“Nggak do. Ayam di dekat sini nggak ada yang mati mendadak kan?” Davis yang menimpali sambil senyum-senyum.
“Ah, kalian inilah…pulang senang-senang malah sakit-sakit. Ini…” kataku sambil menunjuk Davis,” …badannya capek-capek. Si Damro,tadi pagi aku tinggalin, katanya sakit kepala. Kau demam. Andy masih pegal-pegal bokongnya. Lah..si Nelly sms, katanya dia kena flu. Ckckck.” komentarku lagi.
*tunggu crta prjalanan kami ke SUMUT!!
Launching…
SEGERA.
hehehe…

Posting Komentar - Back to Content